الْمَوْصُوْلُ
BENTUK ISIM MAUSHUL MUFRAD (TUNGGAL) DAN MUTSANNA (DUAL)
مَوْصُولُ الاسْمَاءِ الَّذِي الأُنْثَى الَّتِي ¤ وَالْيَـــــا إذَا مَا ثُنِّيَــــا لاَ تُثْــــــبِتِ
Adapun
Isim Mausul yaitu الَّذِي (jenis laki) dan untuk jenis perempuan yaitu الَّتِي. Jika keduanya di tatsniyahkan (dual), maka huruf Ya’nya jangan ditetapkan/dibuang…
بَلْ مَــا تَلِيْـهِ أَوْلِهِ الْعَلاَمَـــهْ ¤ وَالنُّوْنُ إنْ تُشْدَدْ فَلاَ مَلاَمَهْ
Akan tetapi, terhadap huruf yang tadinya diiringi oleh Ya’ yang dibuang tsb, sekarang iringilah! dengan (memasang) tanda Alamah I’rob (menjadi: الذان dan التان ketika mahal Rofa’. dan menjadi: الذَيْن dan التَين ketika mahal Nashab dan Jarr). adapun Nunnya jika ditasydidkan, maka tidak ada celaan untuk itu.
وَالْنّوْنُ مِنْ ذَيْنِ وَتَيْنِ شُدِّدَا ¤ أَيْضَاً وَتَعْوِيضٌ بِذَاكَ قُصِدَا
Demikian juga boleh ditasydidkan, yaitu Nunnya dari (isim isyarah dual) ذَيْنِ dan تَيْنِ. Pentasydidan tersebut, dimaksudkan sebagai Penggantian (dari huruf yg dibuang yaitu Ya’nya
Isim Maushul dan
Isim Isyaroh ketika dibentuk tatsniyah (dual))
BENTUK ISIM MAUSHUL JAMA’ (JAMAK)
جَمْعُ الَّذِي الألَى الَّذِيْنَ مُطْلَقَا ¤ وَبَعْضُهُمْ بِالْوَاوِ رَفْعَاً نَطَقَا
Jamaknya lafadz الَّذِي (Isim Maushul tunggal male) adalah الألَى atau الَّذِيْنَ secara muthlaq (baik untuk mahal Rofa’, Nashab dan Jarr). Ada sebagian dialek orang Arab berbicara dengan menggunakan Wau ketika mahal Rofa’ (menjadi: اَلَّذُوْنَ )
بِاللاَّتِ وَاللاَّءِ الَّتِي قَدْ جُمِعَا ¤ وَالَلاَّءِ كَالَّذِيْنَ نَزْرَاً وَقَعَا
Lafadz الَّتِي (Isim Maushul tunggal female) sungguh dijamakkan dengan menjadi اللاَّتِ atau اللاَّءِ . Ditemukan juga اللاَّءِ dihukumi seperti الَّذِيْنَ (isim maushul jamak untuk male) tapi jarang.
BENTUK ISIM MAUSHUL MUTHLAQ (UMUM)
وَمَنْ وَمَا وَأَلْ تُسَاوِي مَا ذُكِرْ ¤ وَهكَذَا ذُو عِنْدَ طَيِّىء شُهِرْ
Adapun Isim Maushul مَنْ, مَا, dan أَلْ adalah menyamakan hukumnya dengan Isim Maushul yg telah disebut sebelunnya. (artinya: bisa digunakan untuk Male, Female, tunggal, dual, atau Jamak). Seperti itu juga hukumnya, yaitu Isim maushul berupa ذُو terkenal penggunaannya dikalangan dialek kaum Thayyi’.
BENTUK ISIM MAUSHUL QAUM THAYYI’
وَكَالَّتِي أيضـــا لَدَيْـهِمْ ذَاتُ ¤ وَمَوْضِعَ اللَّاتِي أَتَى ذَوَاتُ
Demikian juga ditemukan di kalangan kaum Thayyi’, penggunaan ذَاتُ seperti kedudukan الَّتِيْ (Isim mausul jenis female tunggal), juga penggunaan ذَوَاتُ menempati kedudukan اللآتِيْ (Isim mausul untuk jenis female jamak).
BENTUK ISIM MAUSHUL THE (ذَا)
وَمِثْلُ مَا ذَا بَعْدَ مَا اسْتِفْهَـامِ ¤ أَوْمَنْ إذَا لَمْ تُلْغَ فِي الْكَلاَمِ
Isim Maushul ذَا statusnya sama dengan isim Maushul مَا (dipakai untuk tunggal, dual, jamak, male dan female), dengan ketentuan ذَا jatuh sesudah ما Istifham atau من Istifham, syaratnya ذَا tidak dibatalkan didalam Kalam (maksudnya: ذَا dan ما/من tsb, tidak dijadikan satu kata Istifham (kata tanya)).
BENTUK SHILAH ISIM MAUSHUL
وَكُلُّهَــا يَلْـزَمُ بَعَــدَهُ صِلَـهْ ¤ عَلَى ضَمِيْرٍ لاَئِقٍ مُشْتَمِلَهْ
Setiap Isim-Isim Maushul ditetapkan ada Shilah (jumlah/kalimat keterangan) setelahnya, yang mencakupi atas Dhomir yang sesuai (ada Dhamir/’Aid yg kembali kepada Isim Maushul).
وَجُمْلَةٌ أوْ شِبْهُهَا الَّذِي وُصِلْ ¤ بِهِ كَمَنْ عِنْدِي الَّذِي ابْنُهُ كُفِلْ
Shilah yang tersambung oleh Isim Maushul, biasanya terdiri dari Jumlah atau Shibhul Jumlah (serupa jumlah). seperti contoh: مَنْ عِنْدِي الَّذِي ابْنُهُ كُفِلْ
وَصــفَةٌ صَرِيْحَةٌ صِــلَةُ أَلْ ¤ وَكَوْنُهَا بِمُعْرَبِ الأَفْعَالِ قَلْ
<
Bentuk Sifat Sharihah (Isim Fai’l/Isim Maf’ul/Sifat Musyabbah) merupakan Shilah untuk Isim Mausul ال “AL”, sedangkan Shilah-nya yang berupa Fi’il Mu’rob (Fi’il Mudhori’) jarang adanya.
ISIM MAUSHUL AYYUN (أَيٌّ) DAN BENTUK SHILAHNYA
أَيُّ كَمَا وَأُعْرِبَتْ مَا لَمْ تُضَفْ ¤ وَصَدْرُ وَصْلِهَا ضَمِيْرٌ انْحَذَفْ
Isim Mausul أيّ “Ayyun” dihukumi seperti Isim Maushul “Ma” (bisa untuk Mudzakkar, Muannats, Mufrod, Mutsanna juga Jama’) selagi tidak Mudhaf dan Shadar Silah-nya (‘A-id yg menjadi permulaan Shilah) adalah berupa Dhamir yang terbuang.
وَبَعْضُهُمْ أَعْرَبَ مُطْلَقَاً وَفِي ¤ ذَا الْحَذْفِ أَيًّا غَيْرُ أَيٍّ يَقْتَفِي
Sebagian Ulama Nahwu menghukumi Mu’rab Isim Mausul أيّ “Ayyun” secara Muthlaq (sekalipun أيّ Mudhaf dan Shodar Shilahnya dibuang). Sedangkan didalam hal pembuangan Shadar Shilah ini, Isim Maushul yg selain أيّ juga mengikuti jejak أيّ … dengan syarat….→
PEMBUANGAN SHADAR SHILAH (‘A-ID MARFU’)
إِنْ يُسْتَطَلْ وَصْلٌ وَإِنْ لَمْ يُسْتَطَلْ ¤ فَالْحَذْفُ نَــــزْرٌ وَأَبَــوْا أَنْ يُخْتَزَلْ
…apabila Shilahnya dipanjangkan. Dan apabila tidak dipanjangkan, maka pembuangan Shadar Shilah jarang ditemukan. Juga Mereka (Ulama Nahwu) melarang terhadap pengurangan Shilah (dari sebab pembuangan Shadarnya)…→
إنْ صَلُحَ الْبَاقِي لِوَصْلٍ مُكْمِلِ ¤ وَالْحَذْفُ عِنْدَهُمْ كَثِيْـرٌ مُنْجَلِي
…apabila sisa Shilah itu (setelah pembuangan Shodarnya) masih cocok menjadi Shilah yang sempuna (berakibat menjadi Shilah dg lain pengertian dari asal sebelum dibuang). Adapun pembuangan ‘A-id Shilah oleh mereka (Ulama Nahwu/orang Arab), banyak digunakan dan jelas … →
PEMBUANGAN ‘A-ID MANSHUB
فِي عَــــائِدٍ مُتَّصِــلٍ إِنِ انْــتَصَبْ ¤ بِفِعْلٍ أوْ وَصْفٍ كَمَنْ نَرْجُو يَهَبْ
…didalam ‘A-id yang Muttashil (Aid Shilah Maushul yang berupa Dhomir Muttashi Manshub) bilamana dinashabkan oleh Fi’il atau Sifat. Seperti contoh مَنْ نَرْجُو يَهَبْ. (takdirannya: مَنْ نَرْجُوهُ يَهَبْ)
PEMBUANGAN ‘A-ID MAJRUR
كَذَاكَ حَذْفُ مَا بِوَصْفٍ خُفِضَا ¤ كَأَنْتَ قَاضٍ بَعْدَ أَمْـرٍ مِنْ قَضَى
Seperti itu juga (banyak digunakan dan jelas) yaitu pembuangan ‘Aid yang dikhofadkan/dijarkan oleh kata sifat. Seperti lafadz أَنْتَ قَاضٍ (takdirannya: أَنْتَ قَاضِيْه ) setelah Fi’il Amarnya lafadz قَضَى (dari Firman Allah QS 20:72. فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ )
كَذَا الَّذِي جُرَّ بِمَا الْمَوْصُوْلَ جَرْ ¤ كَمُـــرَّ بِــالَّذِي مَرَرْتُ فَهْــوَ بــَــرْ
Demikian juga (sering membuang Aid pada Shilah Maushul) yaitu Aid yang dijarkan oleh Huruf yg menjarkan Isim Maushulnya (dg Amil yg seragam). Sebagaimana contoh: مُـــرَّ بِــالَّذِي مَرَرْتُ فَهْــوَ بــَــرْ (takdirannya: مُـــرَّ بِــالَّذِي مَرَرْتُ بِهِ) ♥
الْمُعَرَّفُ بِأَدَاةِ الْتَّعْرِيْفِ
Isim yang di ma’rifah-kan (yang ditentukan) oleh perangkat ma’rifat
AL MA’RIFAT
أَلْ حَرْفُ تَعْرِيْفٍ أَوِ الَّلامُ فَقَطْ ¤ فَنَمَـــطٌ عَرَّفْتَ قُـلْ فِيْـهِ النَّمَطْ
أل (AL atau Alif dan Lam) adalah Huruf pe-ma’rifat, atau cukup katakan Lam-nya saja. Maka lafazh نمط yang kamu ma’rifatkan, ucapkanlah! dalam lafazh tersebut menjadi النمط.
PENGGUNAAN AL ZAIDAH LAZIM
وَقَـدْ تُزَادُ لاَزِمَاً كَالَّلاتِ ¤ وَالآنَ وَالَّذِيْنَ ثُمَّ الَّلاتِ
Terkadang أل (AL) ditambahi sebagai AL Zaidah yang Lazim (AL tambahan yang pasti/pembawaan, dinamakan AL zaidah karena tidak berfungsi mema’rifatkan) seperti lafazhالَّلاتِ (Isim Alam/nama berhala di Makkah), الآنَ (Zharaf Zaman/masa waktu), الَّذِيْنَ dan الَّلاتِ (semua Isim Maushul yang berawalan أل/AL).
PENGGUNAAN AL ZAIDAH GHAIR LAZIM DARURAH
وَلاضْــــطِرَارٍ كَبَنَـــــاتِ الأوْبَــــرِ ¤ كَذَا وَطِبْتَ الْنَّفْسَ يَا قَيْسُ الْسَّرِي
Dan terkadang أل (AL) ditambahi karena Darurat Syi’ir (termasuk AL Zaidah bukan Lazim) seperti lafazh بَنَاتِ الأوْبَرِ dan lafazh طِبْتَ الْنَّفْسَ يَا قَيْسُ الْسَّرِي
PENGGUNAAN AL ZAIDAH GHAIR LAZIM MELIRIK MA’NA ASAL
وَبَعَضُ الأعْلاَمِ عَلَيْهِ دَخَلا ¤ لِلَمْحِ مَـا قَدْ كَانَ عَنْهُ نُقِلاَ
Sebagian isim-isim Alam juga dimasuki oleh أل (termasuk AL Zaidah bukan Lazim) untuk melirik pada makna asal, yang mana Isim Alam tsb sungguh telah dinukil darinya (yakni: makna lafazh asal sebelum dijadikan isim Alam/Alami Manqul).
كَالْفَضْلِ وَالْحَارِثِ وَالْنُّعْمَانِ ¤ فَــذِكْـرُ ذَا وَحَذْفُــــهُ سِيَّـانِ
Seperti contoh الفَضْلُ (Alami Manqul dari Isim Masdar), الحَارِثَ (Alami Manqul dari Isim Sifat) dan النُعْمَانُ (Alami Manqul dari Isim Jenis). Maka penyebutan AL ini, atau membuangnya sama saja (tidak mempengaruhi kema’rifatan Isim Alam)
PENGGUNAAN AL LIL GHALABAH DAN MUDHAF LIL GHALABAH
وَقَدْ يَصِيْـــرُ عَلَـمـــاً بِالْـغَـلَبَــــهْ ¤ مُضَاف أوْ مَصْحُوْبُ أَلْ كَالْعَقَبَهْ
Dan terkadang menjadi Alami bil Ghalabah (khusus nama tertentu karena mengalahkan nama-nama lain yg serupa) yaitu Isim Mudhaf (Mudhaf lil Ghalabah, contoh Ibnu Abbas tertentu kepada Abdullah bin Abbas paman Rosulullah) dan Isim yang diberi AL (AL lil Ghalabah) seperti contoh Al-‘Aqabah (menjadi khusus nama jalan digunung Mina)
وَحَذْفَ أَلْ ذِي إنَ تُنَادِ أَوْ تُضِفْ ¤ أوْجِبْ وَفِي غَيْرِهِمَـا قَدْ تَنْحَذِفْ
Dan wajiblah bagimu membuang Al Ghalabah ini, apabila kamu menjadikan ia (Alami bil Ghalabah) munada atau mudhaf. Terkadang juga Al Ghalabah ini dibuang pada selain keduanya (munada atau mudhaf)
الابْتِدَاءُ
Bab Ibtida’
DASAR-DASAR KALIMAT SUSUNAN JUMLAH ISMIYAH
مُبْتَـدَأ زَيْدٌ وَعَـــاذِرٌ خَبَـــــرْ ¤ إِنْ قُلْتَ زَيْدٌ عَاذِرٌ مَنِ اعْتَذَرْ
Adalah Mubtada’ yaitu lafadz زيد , dan lafazh عاذر adalah Khabar, apabila kamu mengucapkan kalimat: زيد عاذر من اعتذر. “Zaid adalah penerima alasan bagi orang yang mengemukakan alasan”
وَأَوَّلٌ مُبْـــتَدَأ وَالْثَّـــــانِي ¤ فَاعِلٌ اغْنَى فِي أَسَارٍ ذَانِ
Kalimah yang pertama adalah Mubtada’, dan kalimah yang kedua adalah Fa’il yang mencukupi (tanpa Khabar), didalam contoh kalimat: أ سار ذان “apakah yang berjalan malam, keduanya ini?” (أ = Huruf Istifham, سار = Isim Sifat sebagai Mubtada’, ذان = sebagai Fa’il yg menempati posisi Khabar)
وَقِسْ وَكَاسْتِفْهَامٍ النَّفْيُ وَقَدْ ¤ يَجُوْزُ نَحْوُ فَائِزٌ أولُو الرَّشَدْ
Dan kiaskanlah! (untuk contoh lain serupa أ سار ذان = yakni, Mubtada’ dari Isim sifat (isim fa’il/isim maf’ul/isim musyabbah) yang diawali Istifham/kata tanya ( أ – هَلْ – كَيْفَ – مَنْ – مَا ) dan Fa’ilnya bisa isim Zhahir atau isim Dhamir). Juga seperti Istifham yaitu Nafi ( semua nafi yang pantas masuk pada isim ( مَا – لاَ – إِنْ – غَيْرُ – لَيْسَ ) dan terkadang boleh (tanpa awalan Istifham atau Nafi tapi jarang) seperti contoh lafazh: فَائِزٌ أُولُو الرَّشَدْ “Yang beruntung mereka yg mendapat petunjuk”
وَالْثَّانِ مُبْتَدَا وَذَا الْـوَصْفُ خَــبَرْ ¤ إِنْ فِي سِوَى الإِفْرَادِ طِبْقاً اسْتَقَرْ
Kalimah yg kedua adalah mubtada’ (menjadi Mubtada’ muakhkhar). Dan Isim Sifatnya ini (kalimah yg pertama) adalah Khabar (menjadi Khabar Muqaddam), apabila pada selain bentuk mufradnya ia menetapi kecocokan (yakni, sama-sama berbentuk Mutsanna atau jama’ misal: أ ساران ذان).
I’RAB MUBTADA’ DAN KHABAR
وَرَفَعُـــوا مُبْتَدَأ بالابْــتَدِا¤ كَذَاكَ رَفْعُ خَبَرٍ باْلمُبْتَدَأ
Mereka (orang arab) me-rofa’kan Mubtada’ karena sebab Ibtida’ (‘Amil secara Ma’nawi, yakni menjadikan isim sebagai Pokok/Subjek kalimat, dikedepankan sebagai sandaran bagi kalimah lain sekalipun secara Lafzhi ada di belakang (mubtada’ muakhkhar)). Demikian juga rofa’-nya Khobar disebabkan oleh Mubtada’.
KHABAR DAN BENTUK-BENTUKNYA
وَالْخَبَرُ الْجُزْء الْمُتِمُّ الْفَائِدَهْ ¤ كَاللَّه بَرُّ وَالأَيَـادِي شَـاهِدَهْ
Pengertian Khabar adalah juz/bagian penyempurna faidah, yang seperti kalimat: اللهُ بَرٌّ وَالأَيَادِي شَاهِدَةٌ “Allah adalah maha pemberi kabajikan. Dan kejadian-kejadian besar adalah sebagai saksi”.
وَمُفْــرَدَاً يَأتِي وَيَأتِـي جُــمْلَهْ ¤ حَاوِيَةً مَعْنَى الَّذِي سِيْقَتْ لَهْ
Khabar ada yang datang berbentuk Mufrad (Khabar Mufrad, tidak terdiri dari susunan kata). Dan ada yang datang berbentuk Jumlah (Khabar Jumlah, tersusun dari beberapa kata) yg mencakup ada makna mubtada’(ada Robit/pengikat antara Mubtada’ dan Khabar jumlahnya), dimana Jumlah tsb telah terhubung (sebagai khobar) bagi Mubtada’nya.
وَإِنْ تَكُـنْ إيَّـاهُ مَعْنَى اكْتَـــفَى ¤ بِهَا كَنُطْقِي اللَّهُ حَسْبِي وَكَفَى
Dan apabilah Jumlah tsb sudah berupa makna mubtada’, maka menjadi cukuplah Khabar dengannya (tanpa Robit) seperti contoh : نُطْقِى اللهُ حَسْبِي وَكَفَى “adapun ucapanku: “Allah memadai dan cukup bagiku””
وَالْمُفْــرَدُ الْجَــامِدُ فَارِغٌ وَإِنْ ¤ يُشْتَقَّ فَهْوَ ذُو ضَمِيْرٍ مُسْتَكِنّ
Adapun khabar mufrad yang terbuat dari isim jamid (isim yang tidak bisa ditashrif ishtilahi) adalah kosong (dari dhamir) dan apabila terdiri dari isim yang di-musytaq-kan (isim musytaq hasil pecahan dari tashrif istilahi) maka ia mengandung dhamir yang tersembunyi (ada dhamir mustatir kembali kepada mubtada’/sebagai robit).
وَأَبْرِزَنْهُ مُطْلَقَـاً حَيْثُ تَلاَ ¤ مَا لَيْسَ مَعْنَاهُ لَهُ مُحَصَّلاَ
Dan sungguh Bariz-kanlah! (gunakan Dhamir Bariz, bukan Mustatir) pada khabar mufrad musytaq tsb secara mutlak (baik Dhamirnya jelas tanpa kemiripan, apalagi tidak), ini sekiranya khabar tsb mengiringi mubtada’ yang mana makna khabar tidak dihasilkan untuk mubtada’ (khabar bukan makna mubtada’).
- Khabar dari Zharaf dan Jar-Majrur
وَأَخْبَرُوَا بِظَرْفٍ أوْ بِحَرْفِ جَرّ ¤ نَاوِيْنَ مَعْنَى كَائِنٍ أَوِ اسْتَقَــرْ
Mereka (ahli Nuhat dan orang Arab) menggunakan Khabar dengan Zharaf atau Jar-Majrur, dengan niatan menyimpan makna كَائِنٍ atau اسْتَقَرْ.
وَلاَ يَكُوْنُ اسْـمُ زَمَانٍ خَبَرَا ¤ عَنْ جُثَّةٍ وَإِنْ يُفِدْ فَأَخْبِرَا
Tidak boleh ada Isim Zaman (Zharaf Zaman) dibuat Khabar untuk Mubtada’ dari Isim dzat. Dan apabila terdapat faidah, maka sungguh jadikan ia Khabar…!.
SYARAT KEBOLEHAN MUBTADA’ DARI ISIM NAKIRAH
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ ¤ مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah, (yakni, boleh dengan persyaratan ada faidah) seperti contoh: عِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَةُ “adalah disisi Zaid pakaian Namirah (jenis pakaian bergaris-garis yg biasa dipakai oleh orang A’rab Badwi)” (khabarnya terdiri dari zharaf atau jar-majrur yg dikedepankan dari mubtada’nya).
وَهَلْ فَتَىً فِيْكُمْ فَمَا خِلٌّ لَنَا ¤ وَرَجُــلٌ مِنَ الْكِـرَامِ عِنْدَنَا
(dan disyaratkan juga: ) seperti contoh هَلْ فَتَىً فِيكُم “adakah seorang pemuda diantara kalian?”(diawali dengan Istifham/kata tanya), dan contoh: مَا خِلٌّ لَنَا “tidak ada teman yang menemani kami” (diawali dengan Nafi), dan contoh: رَجُلٌ مِنَ الكِرَامِ عِنْدَنَا “seorang lelaki yg mulia ada disisi kami”(disifati)
وَرَغْبَةٌ فِي الْخَيْر خَيْرٌ وَعَمَلْ ¤ بِرَ يَزِيْنُ وَلْيُقَسْ مَا لَمْ يُقَـلْ
dan contoh: رَغْبَةٌ فِي الخَيْرِ خَيْرٌ “gemar dalam kebaikan adalah baik” (mengamal), dan contoh: عَمَلُ بِرٍّ يَزِينُ “berbuat kebajikan menghiasi (hidupnya)” (mudhaf). Dan dikiaskan saja! contoh lain yang belum disebut.
PERIHAL KEBOLEHAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’
وَالأَصْلُ فِي الأَخْبَارِ أَنْ تُؤخَّرَا¤ وَجَـوَّزُوَا الْتَّقْــدِيْمَ إِذْ لاَ ضَــرَرَا
Asal penyebutan Khabar tentunya harus di-akhirkan (setelah penyebutan mubtada’), dan mereka (orang arab/ahli nahwu) memperbolehkan mendahulukan khabar bilamana tidak ada kemudharatan (aman dari ketidakjelasan antara khabar dan mubtada’nya).
PELARANGAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’NYA
- Sama Nakirah atau Ma’rifat
فَامْنَعْهُ حِيْنَ يَسْتَوِى الْجُزْءآنِ ¤ عُرْفَــــاً وَنُكْـــرَاً عَــادِمَيْ بَيَـــانِ
Maka cegahlah mendahulukan Khabar…! ketika kedua juz (khabar & mubtada’) serupa ma’rifah-nya atau nakirah-nya, dalam situasi keduanya tidak ada kejelasan. (karena dalam hal ini, pendengar atau pembaca tetap menganggap khabarlah yang dibelakang)
- Khabar dari kalimah Fi’il atau Khabar yg di-mahshur
كَذَا إذَا مَا الْفِعْلُ كَانَ الْخَبَرَا ¤ أَوْ قُــصِدَ اسْتِعَمَــالُهُ مُنْحَصِرَا
Demikian juga dilarang khabar didahulukan, bilamana ia berupa kalimah Fi’il sebagai khabarnya (karena akan merubah susunan kalimat menjadi jumlah Fi’liyah/fi’il dan fa’il). Atau dilarang juga (menjadikan Khabar muqaddam) yaitu penggunaan khabar dengan maksud dimahshur/dipatoki (dengan اِنَّمَا atau اِلاَّ).(karena fungsi me-mahshur-kan khabar adalah untuk meng-akhirkannya).
- Khabar bagi Mubtada’ yg ber-Lam Ibtida’ atau Mubtada’ dari Isim Shadar Kalam
أَوْ كَانَ مُسْنَدَاً لِذِي لاَمِ ابْتِدَا ¤ أَوْ لاَزِم الْصَّدْرِ كَمَنْ لِي مُنْجِدَا
Atau dilarang juga (khabar didahukukan) yaitu menjadikan Khabar disandarkan pada Mubtada’ yg mempunyai lam ibtida’ (karena kedudukan Lam Ibtida’ adalah sebagai Shadar Kalam/permulaan kalimat). Atau disandarkan kepada mubtada’ yang semestinya berada di awal kalimat seperti contoh: مَنْ لِي مُنْجِدَا “siapakah sang penolong untuk ku?” (mubtada’ dari isim istifham).
KHABAR WAJIB DIDAHULUKAN DARI MUBTADA’NYA (KHABAR MUQADDAM & MUBTADA’ MUAKHKHAR)
وَنَحْوُ عِنْدِي دِرْهَمٌ وَلِي وَطَرْ ¤ مُلتـــزَمٌ فِيـــــهِ تَقَــــدُّمُ الخَـــبَرْ
Contoh seperti عِنْدِي دِرْهَمٌ “aku punya dirham” (yakni, khabarnya terdiri dari Zharaf dan Mubtada’nya terdiri dari isim Nakirah) dan لِي وَطَرْ “aku ada keperluan” (yakni, khabarnya terdiri dari Jar-majrur dan Mubtada’nya terdiri dari isim Nakirah) adalah diwajibkan pada contoh ini mendahulukan Khabar.
كَذَا إِذَا عَادَ عَلَيْهِ مُضْمَرُ ¤ مِمَّــا بِهِ عَنْهُ مُبِينــاً يُخْــبَرُ
Seperti itu juga wajib mendahulukan khabar, bilamana ada Dhamir yang tertuju kepada Khabar, tepatnya dhamir yang ada pada Mubtada’ yang dikhabari oleh Khobanya, sebagai penjelasan baginya (contoh: فِي الدَّارِ صَاحِبُهَا “penghuni rumah ada di dalam rumah”)
كَذَا إِذَا يَسْتَوْجِبُ التَّصْديرا ¤ كَـأَيْــنَ مَـنْ عَـلِمْــتَهُ نَصِــيرَا
Demikian juga wajib khabar didahulukan dari mubtada’, bilamana khabar tsb sepantasnya ditashdirkan/dijadikan pembuka kalimat. Seperti contoh: أَيْــنَ مَـنْ عَـلِمْــتَهُ نَصِــيرَا “dimanakah ia yang kamu yakini sebagai penolong?” (khabarnya terdiri dari Isim Istifham).
وَخَبَرَ الْمَحْصُورِ قَدِّمْ أبَدَا ¤ كَمَالَنَـــا إلاَّ اتِّبَـــاعُ أحْمَــدَا
Dahulukanlah…! Selamanya terhadap Khabar yang dimahshur (dengan انما atau الا ) contoh: مَالَنَا إلاَّ اتِّبَاعُ أحْمَدَا “tidaklah kami mengikuti kecuali ikut kepada Ahmad”
PERIHAL KEBOLEHAN MEMBUANG KHABAR ATAU MUBTADA
- contoh boleh membuang Khabar
وَحَذفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا ¤ تَقُوْلُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَكُمَا
Membuang suatu yang sudah dimaklumi adalah boleh, sebagaimana kamu menjawab: زَيْدٌ “Zaid” setelah pertanyaan: مَنْ عِنْدَكُمَا “Siapakah yg bersama kalian?“
- contoh boleh membuang mubtada’
وَفِي جَوَابِ كَيْفَ زَيْدٌ قُلْ دَنِفْ ¤ فَــزَيْدٌ اسْتُغْــنِيَ عَـنْهُ إِذْ عُـرِفْ
juga didalam jawaban pertanyaan contoh: كَيْفَ زَيْدٌ “Bagaimana Zaid?”, jawab saja! دَنِفْ “Sakit“. maka dicukupkan tanpa perkataan zaid, karena sudah diketahui.
KHABAR YANG WAJIB DIBUANG
وَبَعْدَ لَوْلاَ غَالِبَاً حَذْفُ الْخَبَرْ ¤ حَتْمٌ وَفِي نَصِّ يَمِيْنٍ ذَا اسْتَقَرْ
Lazimnya setelah lafazh LAULAA, membuang khabar adalah wajib (contohnya: لولا زيدٌ لأتيتُكَ “andaikata tidak ada Zaid, sungguh aku telah mendatangimu“). Juga didalam penggunaan Mubtada’ nash sumpah, demikian ini (hukum wajib membuang khabar) tetap berlaku (contohnya: لَعَمْرُكَ لأفْعَلَنَّ “demi hidupmu… sungguh akan kukerjakan“).
وَبَعْدَ وَاوٍ عَيَّنَتْ مَفْهُوْمَ مَعْ ¤ كَمِثْلِ كُلُّ صَــانِعٍ وَمَــا صَنَــعْ
juga (tetap berlaku wajib membuang khabar) yaitu setelah Wawu yang menentukan mafhum makna Ma’a “beserta“. sebagaimana contoh: كُلُّ صَــانِعٍ وَمَــا صَنَــعْ “Setiap yang berbuat beserta perbuatannya”.
وَقَبْلَ حَالٍ لاَ يَكُوْنُ خَبَرَا ¤ عَنِ الَّذِي خَـبَرُهُ قَدْ أُضْمِرَا
juga (tetap berlaku wajib membuang khabar) yaitu sebelum haal yang tidak bisa menjadi khobar (tapi sebagai sadda masaddal-khobar/menempati kedudukan khobar) dari mubtada’ yang khobarnya benar-benar disamarkan
كَضَرْبِيَ الْعَبْدَ مُسِيْئاً وَأَتَـمّ ¤ تَبْيِيني الْحَــقَّ مَنُـوْطَاً بِالْحِـكَمْ
Seperti contoh : “Dhorbiyal ‘Abda Masii-an” = pukulanku pada hamba bilamana ia berbuat tidak baik (yakni, mubtada’ dari isim masdar dan sesudahnya ada haal menempati kedudukan khobar) dan contoh “Atammu Tabyiiniy al-haqqa manuuthon bil-hikam” = paling finalnya penjelasanku bilamana sudah manut/sesuai dengan hukum.
KEBOLEHAN MENJADIKAN BANYAK KHOBAR DENGAN SATU MUBTADA‘
وَأَخْبَرُوا بِاثْنَيْنِ أَوْ بِأَكْثَرَا ¤ عَنْ وَاحِدٍ كَهُـمْ سَرَاةٌ شُعَـرَا
Mereka (ulama nuhat/orang arab) menggunakan khabar dengan dua khobar atau lebih dari satu mubtada’, contoh “Hum Saraatun Syu’aroo-un” = mereka adalah orang-orang luhur para penyair.
كَان وَأَخَوَاتُهَا
KAANA DAN SAUDARA-SAUDARANYA
PENGAMALAN KANA DAN SAUDARA-SAUDARANYA
تَرْفَعُ كَانَ الْمُبْتَدَا اسْمَاً وَالْخَبَرْ تَنْصِبُهُ كَكَانَ سَيِّدَاً عُمَرْ
Kaana merofa’kan pada Mubtada’ sebagai isimnya, dan kepada Khabar yakni menashabkannya, demikian ini seperti contoh: Kaana sayyidan ‘Umaru (adalah seorang tuan siapa Umar)
LAFAZH-LAFAZH SAUDARA KANA
كَكَانَ ظَلَّ بَاتَ أَضْحَى أَصْبَحا أَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ زَالَ بَرِحَا
Adalah seperti Kaana (merofa’kan pada Mubtada’ sebagai isimnya dan menashobkan khobarnya) yaitu lafazh: Zholla (menjadi di siang hari), Baata (menjadi di malam hari), Adh-ha (menjadi diwaktu dhuha), Amsaa (menjadi diwaktu sore), Shooro (menjadi), Laisa (tidak). Zaala (senantiasa), Bariha (senantiasa)
فَتىء وَانْفَكَّ وَهذِي الأَرْبَعَهْ لِشِبْهِ نَفْي أوْ لِنَفْي مُتْبَعَهْ
Fati-a (senantiasa) Infakka (senantiasa). Adapun yang empat ini (Zaala Bariha Fati-a Infakka) harus diikutkan pada nafi atau serupa nafi
وَمِثْلُ كَانَ دَامَ مَسْبُوْقَاً بِمَا كَأَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبَاً دِرْهَمَاً
Dan semisal Kaana (merofa’kan pada Mubtada’ sebagai isimnya dan menashobkan khobar sebagai khobarnya) yaitu lafazh: Daama yg didahului dengan Maa mashdariyyah-zharfiyyah, seperti contoh: A’thi..! maa dumtu mushiiban dirhaman (berikan ia uang selama kamu punya)
وَغَيْرُ مَاضٍ مِثْلَهُ قَدْ عَمِلاَ إِنْ كَانَ غَيْرُ الْمَاضِ مِنْهُ اسْتُعْمِلاَ
Selain bentuk fi’il madhi (kaana dan sdr-nya) jelas beramal semisal fi’il madhinya, apabila selain bentuk fi’il madhinya dipergunakan.
KHOBAR KANA DALAM PELETAKANNYA
وَفِي جَمِيْعهَا تَوَسُّطَ الْخَبَرْ أَجِزْ وَكُلٌّ سَبْقَهُ دَامَ حَظَرْ
Perbolehkanlah..! menengahi khobar (antara amil dan isimnya) pada semua kanaa dan saudara-saudaranya. Dan setiap mereka (nuhat/arabiy) melarang mendahulukannya khobar pada Daama.
كَذَاكَ سَبْقُ خَبَرٍ مَا الْنَّافِيَهْ فَجِيء بِهَا مَتْلُوَّةً لاَ تَالِيَهْ
Demikian juga dilarang mendahukan khobar pada maa nafi, maka jadikanlah ia (maa nafi) sebagai yang di-ikuti bukannya yang mengikuti
وَمَنْعُ سَبْقِ خَبَرٍ لَيْسَ اصْطُفِي وَذُو تَمَامٍ مَا بِرَفْعٍ يَكْتَفِي
Pelarangan mendahulukan khobar pada “Laisa” adalah hukum yang dipilih. Saudara-saudara Kaana yang Tam, yaitu setiap yang cukup dengan marfu’nya saja (isimnya)
FI’IL NAQISH DAN FI’IL TAM
وَمَا سِوَاهُ نَاقِصٌ وَالْنَّقْصُ في فَتِىءَ لَيْسَ زَالَ دَائِمَاً قُفِي
Dan saudara kaana selain yg Tam, disebut Naqish. Sedangkan Naqish untuk lafazh “Fati-a”, “Laisa” dan “Zaala” selamanya diikuti/ditetapkan sebagai Naqish
PERIHAL MA’MUL KHOBAR DIDAHULUKAN
وَلاَ يَلِي العَامِلَ مَعْمُولَ الخَبَرْ إِلَّا إِذَا ظَرْفاً أَتَى أَوْ حَرْفَ جَرّ
Ma’mulnya khobar tidak boleh mengiringi amil … kecuali bilamana ma’mul tsb berupa zhorof atau jar-majrur
وَمُضْمَرَ الْشانِ اسْمَاً انْوِ إنْ وَقَع مُوْهِمُ مَا اسْتَبَانَ أَنَّهُ امْتَنَعْ
mengiralah dhomir syaen sebagai isimnya kaana dan saudaranya, apabila terdapat anggapan benar dari kalam arab yang nyata-nyata dilarang (ma’mul khobar mengiringi kaana cs, pada bait sebelumnya).
KAANA ZAIDAH
وَقَدْ تُزَادُ كَانَ فِي حَشْوٍ كَمَا كَانَ أَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّمَا
terkadang kaana ditambahi (hanya zaidah) diantara dua kalimah (yg mutalazim) contoh: MAA KAANA ASHOHHA ILMA MAN TAQODDAMAA “alangkah shahnya ilmunya orang-orang terdahulu.
KAANA DIBUANG
وَيَحْذِفُوْنَهَا وَيُبْقُوْنَ الْخَبَر وَبَعْدَ إِنْ وَلَوْ كَثِيْرَاً ذَا اشْتَهَرْ
Mereka (ulama nuhat, orang arab) membuang kaana (berikut isimnya) dan menyisakan khobarnya. Demikian ini sering terjadi dan banyak, ketika kaana berada setelah “in syarthiyah” atau “lau syarthiyah”.
MAA MENGGANTIKAN KAANA
وَبَعْدَ أَنْ تَعْوِيْضُ مَا عَنْهَا ارْتُكِبْ كَمِثْلِ أَمَّا أَنْتَ بَرًّا فَاقْتَرِبْ
Sesudah huruf “AN masdariyah” menggantikannya Maa dari Kaana diberlakukan, semisal contoh: AMMA ANTA BARRAN FAQTARIB “jadilah dirimu orang baik kemudian mendekatlah (pd-Nya) “
PEMBUANGAN KAF PADA LAFAZH YAKUN
وَمِنْ مُضَارِعٍ لِكَانَ مُنْجَزِمْ تُحُذَفُ نُوْنٌ وَهْوَ حَذْفٌ مَا الْتُزِمْ
Dari fi’il mudhari’nya kaana yg dijazmkan (YAKUN) huruf Nun-nya dibuang, pembuangan ini tidaklah musti (boleh).
فَصْلٌ فِي مَا وَلاَ وَلاَتَ وَإِنْ الْمُشَبَّهَاتِ بِلَيْسَ
BAB MAA, LAA, LAATA DAN IN YG BERAMAL SERTI LAISA
PEMGAMALAN “MAA NAFI” DAN SYARAT-SYARATNYA
إِعْمَالَ لَيْسَ أُعْمِلَتْ مَا دُوْنَ إِنْ مَعَ بَقَا الْنَّفْي وَتَرْتِيْبٍ زُكِنْ
Diamalkan seperti amal laisa (merofa’kan isimnya dan menashobkan khobarnya) yaitu MAA NAFI tanpa IN, beserta tetapnya nafi (tanpa illa) dan susunan tertib yg dimaklumi (mubtada di depan khobar di belakang).
KEBOLEHAM MA’MUL KHOBAR MAA NAFI DIKEDEPANKAN
وَسَبْقَ حَرْفِ جَرَ أوْ ظَرْفٍ كَمَا بِي أَنْتَ مَعْنِيًّا أَجَازَ الْعُلَمَا
Mendahulukan harf jar atau zharaf, seperti halnya contoh: MAA BIY ANTA MA’NIYYAN (kamu tidaklah perhatian padaku), Ulama membolehkannya.
MA’THUF DG LAAKIN/BAL PADA KHOBAR MAA NAFI , WAJIB ROFA’
وَرَفْعَ مَعْطُوْفٍ بِلكِنْ أَوْ بِبَلْ مِنْ بَعْدِ مَنْصُوْبٍ بِمَا الْزَمْ حَيْثُ حَل
Merofa’kan isim yg diathafkan dg huruf LAAKIN atau BAL setelah isim yg dinashabkan oleh MAA, hukumilah wajib (wajib rofa’) bagimu sekiranya ini terjadi (contoh: MAA ZAIDUN QOOIMAN LAAKIN JAALISUN)
TAMBAHAN BA’ HURUF JAR, PADA KHOBARNYA MAA/LAISA.
وبَعْدَ مَا وَلَيْسَ جَرَّ الْبَا الْخَبَرْ وَبعَدْ لا ونَفْي كَانَ قَد يجر
Setelah MAA dan LAISA sering ada huruf BA men-jarkan khobarnya, sedangkan setelah LAA dan NAFINYA KAANA jarang ada BA men-jarkan khobarnya (contoh: A LAISA-ALLAHU BI AHKAMIL HAAKIMIIN
WA MAA ROBBUKA BI ZHOLLAAMIN-LIL ‘ABIID)
PENGAMALAN LAA, LAATA DAN IN
في النَّكِرَاتِ أعْمِلَنْ كَلَيْسَ لا وَقَدْ تَلِي لَاتَ وَإِنْ ذَا العَمَلَا
“LAA” diamalkan seperti “LAISA” (merofa’kan isim & menashabkan khobarnya) pada isim-isim nakirah. Terkadang “LAATA” dan “IN” juga mengikuti pengamalan ini.
وَمَا لِلاَتَ فِي سِوَى حِيْنٍ عَمَلْ وَحَذْف ذِي الْرَّفْعِ فَشَا وَالْعَكْسُ قَل
Dan tidaklah bagi “LAATA” itu beramal pada yg selain HIINA (isim zaman), membuang isimnya sering terjadi, sebaliknya membungan khobarnya jarang.
أَفْعَالُ الْمُقَارَبَةِ
AF’AALUL MUQOROBAH (KATA KERJA MAKNA HAMPIR SAJA)
كَكَانَ كَادَ وَعَسَى لكِنْ نَدَرْ غَيْرُ مُضَارِعٍ لِهذَيْنِ خَبَرْ
Beramal semisal KAANA (merofa’kan mubtada’ sebagai isimnya dan menashabkan khobarnya) yaitu KAADA dan ‘ASAA, akan tetapi khobar untuk keduanya ini jarang selain bentuk fi’il mudhari’.
Contoh:
KAADA ATS-TSAMARU YATHIIBU
Buah itu hampir matang
‘ASAA AL-AMNU AN YADUUMA
Mudah-mudahan ketentraman ini untuk selamanya
وَكَوْنُهُ بِدُونِ أَنْ بَعْدَ عَسَى نَزْرٌ وَكَادَ الأَمْرُ فِيْهِ عُكِسَا
Adanya khabar tanpa AN setelah ‘ASAA adalah jarang (khobar ‘ASAA sering dengan AN) sedangkan KAADA, perkara yang ada padanya terbalik (khobar KAADA sering tanpa AN)
Contoh:
1. ‘ASAA ZAIDUN “AN YAQUUMA” (sering dg AN)
smoga saja zaid berdiri
2. MAA KAADA ZAIDUN “YAQUUMU” (sering tnp AN)
hampir saja zaid tidak berdiri
وَكَعَسَى حَرَى وَلكِنْ جُعِلاَ خَبَرُهَا حَتْمَاً بِأَنْ مُتَّصِلاَ
HAROO seperti ‘ASAA (sama-sama bermakna semoga saja/af’aalur-roja) akan tetapi khabarnya dijadikan bersambung dengan AN secara wajib.
Contoh:
1. HAROO ZAIDUN AN YAQUUMA (wajib dg AN)
Semoga saja zaid berdiri
وَأَلْزَمُوا اخْلَوْلَقَ أَنْ مِثْلَ حَرَى وَبَعْدَ أَوْشَكَ انْتِفَا أَنْ نَزُرَا
Mereka (nuhat/arab) mewajibkan IHLAULAQO dengan AN sebagaimana HAROO, sedangkan khobar setelah AUSYAKKA tanpa AN adalah jarang.
Contoh:
1. IHLAULAQO ZAIDUN AN YAQUUMA (wajib dg AN)
Semoga saja zaid berdiri
2. AUSYAKKA ZAIDUN AN YAQUUMA (sering dg AN)
Hampir saja zaid berdiri
وَمِثْلُ كَادَ في الأَصَحِّ كَرَبَ أوِ تَرْكُ أَنْ مَعْ ذِي الْشُّرُوع وَجَبَا
“KAROBA” seperti hukum KAADA (sering khobarnya tanpa AN, dan sama bermakna hampir) demikian menurut kaul yang lebih shahih. Atau wajib tanpa AN sebagai Af’aalus-Syuruu’ (kata kerja bermakna memulai).
كَأَنْشَأَ الْسَّائِقُ يَحْدُو وَطَفِقْ كَذَا جَعَلْتُ وَأَخَذْتُ وَعَلِقْ
Contoh (Af’aalus-Syuruu’) “ANSYA-As-saa-iqu yahdzuu”, “THOFAQO” demikian juga “JA’ALA”, “AKHODZA” dan “‘ALIQO”
Contoh:
KAROBA ZAIDUN YAQUUMU
Zaid hampir berdiri
ANSYA’A ASSAA’IQU YAHDZUU
Kusir itu mulai menggiring/memacu
THOFAQO ZAIDUN YAD’UU
Zaid mulai berdoa
JA’ALA ZAIDUN YATAKALLAMU
Zaid mulai berbicara
AKHODZA ZAIDUN YANZHIMU
Zaid mulai menyusun
‘ALIQO ZAIDUN YAF’ALU
Zaid mulai bekerja
وَاسْتَعْمَلُوا مُضَارِعَاً لأَوْشَكَا وَكَادَ لاَ غَيْرُ وَزَادُوا مُوْشِكَا
Mereka (nuhat/orang arab) mempergunakan juga bentuk fi’il mudhari’ (dalam bab af’aalul muqorobah ini) untuk lafazh AUSYAKKA dan KAADA, dan tidak untuk lafazh yg lainnya, ditambah juga bentuk isim faa’l contoh MUUSYIKUN.
Contoh:
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ
YAKAADUL-BARQU YAKHTHOFU ABSHOOROHUM
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka… (QS. Al-Baqoroh :20)
يُوشِكُ الْفُرَاتُ أَنْ يَحْسُرَ عَنْ كَنْزٍ مِنْ ذَهَبٍ
YUUSYIKU AL-FUROOTU AN YAHSURO ‘AN KANZIN MIN DZAHABIN
Hampir-hampir sungai Furot itu merasa letih karena emas yg dikandungnya … (HR. Bukhari Muslim)
فَمُوشِكَةٌ أَرْضُنَا أَنْ تَعُودَ خِلاَ فَ الأنِيسِ وَحُوشاً يَبَابَا
FA MUUSYIKUN ARDHUNAA AN TA’UUDA KHILAAFAL-ANIISI WAHUUSYAN YABAAYAA
Hampir-hampir bumi kami setelah dihuni kembali menjadi tanah liar dan mati. (Syahid Syair oleh Abu Sahm Al-Hudzaliy)
بَعْدَ عَسَى اخْلَوْلَقَ أَوْشَكَ قَدْ يَرِدْ غِنًى بِأَنْ يَفْعَلَ عَنْ ثَانٍ فُقِدْ
Setelah ASAA, IKHLAULAQO dan AWSYAKKA, sungguh ditemukan cukup dengan AN YAF’ALA (jumlah AN dan Fiil Mudhari cukup sebagai isimnya tanpa Khobar, ya’ni ketiga Af’alul Muqorobah tsb diberlakukan sebagai Fi’il Tam) tanpa kata kedua (khobarnya) yang dihilangkan.
Contoh:
‘ASAA AN YAQUUMA = mudah-mudahan dia berdiri
IKHLAWLAQO AN YA’TII = mudah-mudahan dia datang
AWSYAKKA AN YA’MALU = hampir lagi dia mengerjakannya
وَجَرِّدَنْ عَسَى أَوْ ارْفَعْ مُضْمَرَا بِهَا إذَا اسْمٌ قَبْلَهَا قَدْ ذُكِرَا
1- Kosongkan! lafazh ‘ASAA, atau (pilih) 2- Rofa’kan dhamir mustatir yg ada pada ‘ASAA. Apabila terdapat isim yang disebut sebelumnya.
Contoh: ZAIDUN ‘ASAA AN YABROA “semoga zaid sembuh”
1. Asaa menjadi Fi’il Tam, kosong tanpa dhamir, dan faa’ilnya adalah ta’wil masdar “AN YABROA”
2. Asaa ,menjadi Fi’il Naqis, mengandung dhamir mustatir sebagai isimnya, dan khobarnya adalah ta’wil masdar “AN YABROA”
وَالْفَتْحَ وَالْكَسْر أَجِزْ فِي الْسِّيْنِ مِنْ نَحْوِ عَسَيْتُ وَانْتِقَا الْفَتْحِزُكِنْ
Perkenankanlah! mengharkati fathah atau kasrah untuk Sin dari contoh ‘ASAITU (‘asaa yg bersambung dengan dhamir rofa’ mutaharrik). Memilih harakat fathah adalah yg umum.
Contoh:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi..?
إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا
INNA DAN SAUDARA SAUDARANYA
لإِنَّ أَنَّ لَيْتَ لكِنَّ لَعَلَّ كَأَنَّ عَكْسٌ مَا لِكَانَ مِنْ عَمَلْ
Pengamalan untuk Inna, Anna, Laita, Lakinna dan Ka-anna, kebalikan dari pengamalan untuk Kaana. (yakni, Inna dss. Beramal menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya)
كَإِنَّ زَيْدَاً عَالِمٌ بِأَنِّي كُفءٌ وَلكِنَّ ابْنَهُ ذُو ضِغْنِ
Seperti contoh: INNA zaidan ‘aalimun bi ANNIY kuf-un wa LAAKINNA ibnahuu dzuu dhighni (sesungguhnya Zaid tahu bahwa saya sepadan akan tetapi putranya masih punya dendam)
ISIM & KHOBAR INNA HARUS TARTIB
وَرَاعِ ذَا الْتَّرْتِيْبَ إلاَّ فِي الَّذِي كَلَيْتَ فِيْهَا أَوْ هُنَا غَيْرَ البَذِي
Pertimbangkanlah olehmu! akan tartib (isimnya dulu baru khobarnya) kecuali yang seperti contoh: “LAITA FIIHAA AW HUNAA GHAIROL BADZI” Smoga saja didalamnya atau disini tidak ada perkataan yg kotor (khobarnya dari jar-majrur atau zhorof, maka boleh dikedepankan dari isimnya)
HAMZAH INNA WAJIB DIHARAKATI FATHAH
وَهَمْزَ إِنَّ افْتَحْ لِسَدِّ مَصْدَرِ مَسَدَّهَا وَفِي سِوَى ذَاكَ اكْسِرِ
Fathahkanlah hamzahnya Inna (menjadi ANNA) karena posisi mashdar menempatinya (ditakwil mashdar). Selain itu, kasrahkanlah..!
Contoh:
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran)?
HAMZAH INNA WAJIB KASRAH
فَاكْسِرْ فِي الابْتِدَا وَفِي بَدْءِ صِلَهْ وَحَيْثُ إِنَّ لِيَمِينٍ مُكْمِلَهْ
Kasrahkanlah (terhadap hamzahnya INNA): (1) berada dipermulaan kalam, (2) berada di permulaan jumlah shilah (shilah mausul) (3) sekiranya Inna dipandang sempurna sebagai jawab bagi kata sumpah (menjadi jawab qosam baik khobarnya ada lam ibtida’ atau tidak)
أَوْ حُكِيَتْ بِالْقَوْلِ أَوْ حَلَّتْ مَحَلَّ حَالٍ كَزُرْتُهُ وَإِنِّي ذُو أَمَلْ
Atau (4) diceritakan dengan qaul (menjadi jumlah mahkiyah dari kata qoul), atau (5) menempati di tempatnya haal (jumlah inna menjadi haal) seperti: Zirtu hu wa inniy dzu amal “aku mengunjunginya sebagai orang yg berharap/punya kebutuhan)
وَكَسَرُوا مِنْ بَعْدِ فِعْلٍ عُلِّقَا بِالَّلاَمِ كَاعْلَمْ إنَّهُ لَذُو تُقَى
Dan (6) mereka mengkasrahkan (hamzah inna) berada setelah fi’il yang digantungkan dengan lam ibtida’ (sebagian fi’il dari af’aalul quluub yg menyertai lam ibtida) seperti: I’lam innahuu la dzuu tuqoo “ketahuilah bahwa dia itu orang yang mempunyai ketakwaan”
CONTOH HAMZAH INNA WAJIB KASRAH:
1. Permulaan kalam (INNA ZAIDAN QOOIMUN)
2. Shilah maushul (JAA-A ALLADZI INNA HU QOOIMUN)
3. Jawab qosam (WALLAAHI INNA ZAIDAN QOOIMUN)
4. Mahkiyah qoul (QOOLA INNA ZAIDAN QOOIMUN)
5. Haal (JAA-A ZAIDUN WA INNA HU QOOIMUN)
6. Setelah fi’il qulub dg lam taukid (I’LAM INNA ZAIDAN LA QOOIMUN)
HAMZAH INNA BOLEH KASRAH ATAU FATHAH (INNA/ANNA)
بَعْدَ إذَا فَجَاءةٍ أَوْ قَسَمِ لاَ لاَمَ بَعْدَهُ بِوَجْهَيْنِ نُمِي
(1) Setelah Idza Fuja-ah (fujaiyah/tiba-tiba) atau (2) setelah qosam yang disesudahnya tidak ada lam ibtida, (maka Hamzah Inna) dinisbatkan pada dua jalan (boleh kasrah atau fathah)
مَعْ تِلْوِ فَا الْجَزَا وَذَا يَطَّرِدُ فِي نَحْوِ خَيْرُ الْقَوْلِ إِنِّي أَحْمَدُ
(3) serta mengiringi FA JAZA’ (fa jawab syarat) dan (4) ini juga berlaku seperti contoh: Khairul qouli inniy ahmadu = “paling baiknya perkataan adalah: ” aku memujiNya” (khobar mubtada fil ma’na qoul).
HAMZAH INNA BOLEH KASRAH ATAU FATHAH (INNA/ANNA):
1. Setelah Idza Fujaiyah contoh:
KHOROJTU FA IDZA INNA/ANNA ZAIDAN HAADIRUN “aku keluar tiba-tiba ada zaid”
2. Jawab Qosam tanpa lam ibtida, contoh:
HALAFTU INNA/ANNA ZAIDAN HAADIRUN “aku bersumpah Zaid ada”
3. Setelah Fa Jawab syarat, contoh:
MAN YA’TINIY FA INNA/ANNA HUU MUKROMUN “barang siapa datang kepadaku maka sungguh ia dimulyakan”
4. Khobar Qoul, contoh:
KHAIRUL QOULI INNIY/ANNIY AHMADU-LLAAHA “paling baik perkataan adalah: aku memuji Allah)
HAL IHWAL PELETAKAN LAM IBTIDA’ PADA KHOBAR INNA
وَبَعْدَ ذَاتِ الْكَسْرِ تَصْحَبُ الْخَبَرْ لاَمُ ابِتْدَاءٍ نَحْوُ إنِّي لَوَزَرْ
WA BA’DA DZAATIL KASRI TASH-HABUL KHOBAR # LAMU-BTIDAA’I NAHWU INNIY LA WAZAR
Sesuda (INNA) yg punya hamzah kasrah, lam ibtida boleh menemani pada khobarnya, contoh: Inniy La Wazarun “sesungguhnya saya adalah pelindung/bodyguard”
KET:
Khusus khobar Inna yg kasrah hamzahnya, boleh dipasangi lam ibtida. Selain Inna (semua saudara2nya) tidak boleh kecuali syadz/tanpa qias.
وَلاَ يَلِي ذِي الَّلامَ مَا قَدْ نُفِيَا وَلاَ مِنَ الأَفْعَالِ مَا كَرَضِيَا
Khabar Inna yang dinafikan, tidak boleh mengiringi Lam Ibtida. Juga khabarnya yg berupa fi’il (khabar jumlah fi’liyah) yang seperti lafazh RODHIYA (fi’il madhi mutasharrif)
وَقَدْ يَلِيْهَا مَعَ قَدْ كَإِنَّ ذَا لَقَدْ سَمَا عَلَى الْعِدَا مُسْتَحْوِذَا
Terkadang khabar fi’liyah yg seperti RODHIYA tsb, bisa dapat mengiringi Lam Ibtida dg syarat menyertai QOD (huruf tahqiq). Seperti contoh: INNA DZA LA QOD SAMA ‘ALAL-’IDAA MUSTAHWIDZAN “sungguh ia ternama karena mengalahkan lawan-lawannya”
KET:
Syarat masuknya lam ibtida pada khobar Inna yg kasrah hamzahnya adalah
1. Harus Mutsbat bukan Manfiy
2. Bukan jumlah fi’liyah fi’il madhi mutasharrif tanpa Qod
3. Khabarnya harus diakhirkan dari isimnya (sebagaimana contoh bait)
CONTOH:
Boleh ada lam ibtida
INNA ZAIDAN LA QOOIMUN (isim)
INNA ZAIDAN LA YAQUUMU (fi’il mudhari)
INNA ZAIDAN LA QOD QOOMA (fi’il madhi mutasharrif dengan qod)
INNA ZAIDAN LA NI’MA (fi’il madhi ghairu mutasharrif)
Tidak boleh ada lam ibtida:
INNA ZAIDAN LAM YAQUM (manfi)
INNA ZAIDAN QOMMA (fi’il madhi mutasharrif tanpa qod)
INNA FID-DAARI ZAIDAN (khabar mendahului isimnya)
وَتَصْحَبُ الْوَاسِطَ مَعْمُوْلَ الْخَبَرْ وَالْفَصْلَ وَاسْمَاً حَلَّ قَبْلَهُ الْخَبَرْ
Lam Ibtida juga boleh masuk pada: (1) Ma’mulnya khobar yg menengahi (antara isim inna dan khobarnya), (2) dhamir fashl, (3) isimnya inna yg khobarnya menempati di sebelumnya (khobar muqaddam).
KET:
Lam Ibtida’ masuk pada:
1. Ma’mul Khobar yg menengahi antara isim dan khobar inna, contoh:
INNA ZAIDAN “LA THO’AAMAKA” AAKILUN = sesungguhnya zaid adalah orang yang memakan makananmu.
2. Dhamir Fashl (dhamir yg memisah antara isim dan khobar inna), contoh:
INNA ZAIDAN “LA HUWA” AL-QOOIMU = sesungguhnya zaid adalah dia yg berdiri.
3. Isim Inna yg diakhirkan dari khobarnya, contoh:
INNA FID-DAARI “LA ZAIDAN” = sesungguhnya yg berada di dalam rumah yaitu Zaid.
PERIHAL HURUF “MAA” YG MENYERTAI INNA CS
وَوَصْلُ مَا بِذِي الْحُرُوِف مُبْطِلُ إعْمَالَهَا وَقَدْ يُبَقَّى الْعَمَلُ
WA WASHLU MAA BI DZIL-HURUUFI MUBTHILU # I’MAALA HAA WA QOD YUBAQQOL-’AMALU.
Bersambungnya “MAA” dengan INNA CS ini, membatalkan terhadap pengamalan INNA CS. Terkadang ada juga yg pengamalannya ditetapkan.
KET:
Umumnya pengamalan inna cs dibatalkan jika dimasuki huruf MAA, ada juga yg tidak dibatalkan tapi sangat jarang, dan khusus LAITA boleh batal atau tidak.
“MAA” tambahan yg masuk pada Inna dan saudara2nya disebut:
1. MAA KAFFAH (pencegah) mencegah pengamalan Inna dan saudara2nya. Contoh : إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ
“INNAMA”-ALLAHU ILAAHUN WAAHIDUN
(Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa)
2. MAA MUHAYYIAH (pemantas) untuk memantaskan INNA CS bisa masuk pada kalimat jumlah fi’liyah. Contoh:
كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ
“KAANNAMAA” YUSAAQUUNA ILAL-MAUTI WA HUM YANZHURUUN
(seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat)
PERIHAL LAFAZH YG MA’THUF PADA ISIM INNA
وَجَائِزٌ رَفْعُكَ مَعْطُوْفَاً عَلَى مَنْصُوبِ إِنَّ بَعْدَ أَنْ تَسْتَكْمِلاَ
Boleh kamu merofa’kan isim yg diathafkan pada isim Inna yg dinashabkan, setelah Inna menjadi sempurna (setelah ada khobarnya).
KET:
Bilamana setelah isim dan Khobarnya Inna terdapat isim yang athaf, maka boleh memilih diantara dua irob:
1. Nashab, athaf kepada isim Inna yg dinashabkan. Contoh:
INNA ZAIDAN QOOIMUN WA “AMRAN”
2. Rofa’, athaf kepada mahalnya isim Inna karena asalnya adalah mubtada yg rofa’, demikian menurut pendapat yg masyhur termasuk ibn malik. Contoh:
INNA ZAIDAN QOOIMUN WA “AMRUN”
Pendapat lain adalah sebagai mubtada’ dan khobarnya dibuang, takdirannya adalah WA AMRUN “KADZALIK”
Sedangkan jika isim tsb athaf kepada Inna sebelum sempurna dengan khobarnya, maka ada dua pendapat:
1. Nashab, demikian menurut jumhur, contoh:
INNA ZAIDAN WA “AMRAN” QOOIMAANI.
2. Rofa’, demikian menurut pendapat yg lain. Contoh:
INNA ZAIDAN WA “AMRUN” QOOIMAANI.
Pendapat yg kedua diperkuat oleh dalil Al-Qur’an, hikayah perkataan orang arab oleh Imam Syibawaihi dan banyaknya syair-syair arab yg menunjukkan bolehnya merofa’kan isim yg athaf kepada isim Inna sebelum disebut khobarnya. Contoh:
Dalam Al-Qur’an:
إنّ الذين ءامنوا والذين هادوا والصابئون والنصارى من ءامن بالله
Merofa’kan “ASH-SHOOBI’UUNA”
Hikayah oleh Imam Syibawaihi tentang orang arab yg berkata:
إنك وزيدٌ ذاهبان
Merofa’kan “ZAIDUN”
Contoh syahid dalam Sya’ir:
فمن يك أمسى بالمدينة رَحْلُهُ……فإني وقَيَّارٌ بها لغريب
Merofa’kan “QOYYAARUN”
وَأُلْحِقَتْ بِإِنَّ لكِنَّ وَأَنْ مِنْ دُوْنِ لَيْتَ وَلَعَلَّ وَكَأَنْ
“LAKINNA” dan “ANNA” hukumnya mengikuti “INNA” (dalam hal merofa’kan ma’thuf pada isimnya, di Bait 15 sebelumnya) selain “LAITA”, “LA’ALLA” dan “KA-ANNA”.
KET:
kebolehan merofa’kan isim yg ma’thuf pada isim manshub setelah menyebut khobarnya (jumhur) atau sebelum menyebut khobarnya (shahih) berlaku untuk INNA Cs yang berupa:
1. INNA
2. ANNA
3. LAKINNA
Tidak berlaku untuk INNA Cs yang berupa:
1. LAITA
2. LA’ALLA
3. KA-ANNA
PERIHAL INNA YG DIBACA TAKHFIF “IN”
وَخُفِّفَتْ إِنَّ فَقَلَّ الْعَمَلُ وَتَلْزَمُ الَّلاَمُ إِذَا مَا تُهْمَلُ
“INNA” yang ditakhfif (diringankan tanpa tasydid dibaca “IN”) maka jarang beramal (sering tidak beramal menashabkan isimnya) dan diharuskan ada “LAM” apabila “IN” tsb memang di-muhmal-kan (tidak beramal).
وَرُبَّمَا اسْتُغْنِيَ عَنْهَا إِنْ بَدَا مَا نَاطِقٌ أَرَادَهُ مُعْتَمِدَاً
Dan kadang kali cukup tanpa “LAM” jika sudah jelas tujuan pembicara seraya meyakinkan.
KETERANGAN BAIT KE 17-18
“INNA” yg dibaca “IN” (di-takhfif) dalam kebiasaan orang arab sering di-muhmal-kan atau tidak diamalkan, yakni ada juga yg di-amal-kan tapi jarang.
“IN” yang muhmal tersebut harus ditandai dengan “LAM” untuk membedakan antara IN huruf taukid dan IN huruf nafi, oleh karenanya sering disebut sebagai “LAM FARIQOH” atau “LAM FASHL”.
Kadang kali tanpa harus ada “LAM” jika memang sudah jelas diketahui baik secara lafazh atau secara makna, misalnya pembicara bermaksud IN takhfif tersebut tidak di-muhmal-kan /diamalkan, maka dapat membedakan dengan IN nafiyah yg tidak beramal menashabkan isim.
contoh”in” muhmal berikut ada “lam” (sering)
“IN” ZAIDUN “LA” QOO-IMUN
contoh”in” beramal (jarang) beriktu tanpa “lam”
“IN” ZAIDAN QOO-IMUN
وَالْفِعْلُ إِنْ لَمْ يَكُ نَاسِخَاً فَلاَ تُلْفِيْهِ غَالِبَاً بِإِنْ ذِي مُوصَلاَ
Jika kalimah fi’il itu bukan fi’il nawasikh, maka lazimnya kamu tidak akan mendapatkan fi’il tersebut bersambung dengan “IN” ini (IN huruf taukid yg ditakhfif dari INNA).
KETERANGAN BAIT KE 19
Umumnya “IN” yg ditakhfif dari INNA tsb, jarang dipertemukan dengan kalimah fi’il, kecuali pada fi’il-fi’il yg berstatus amil nawasikh atau fi’il yg biasa masuk pada susunan mubtada’ khobar seperti: KAANA Cs, ZHONNA Cs, dan KAADA Cs.
Contoh dalam ayat-ayat Al-Qur’an :
وإن كانت لكبيرة إلا على الذين هدى الله
Wa “IN” KAANAT la kabiirotan illa ‘alal-ladziina hadaa-Allaahu
(Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah)
وإن يكاد الذين كفروا ليزلقونك بأبصارهم
Wa “IN” YAKAADU alladziina kafaruu la yuzliquunaka bi abshoorihim.
(Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka).
وإن وجدنا أكثرهم لفاسقين
Wa “IN” WAJADNAA aktsarohum la faasiquun.
(Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik)
وإن نظنّك لمن الكاذبين
Wa “IN” NAZHUNNUKA la minal kaadzibiin
(dan sesungguhnya kami yakin bahwa kamu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.)
Ada juga yg dipertemukan dengan fi’il-fi’il selain nawasikh tapi ini jarang diluar keumumannya, contoh orang arab berkata:
إن يزينك لنفسك وإن يشينك لهيه
“IN” YAZIINUKA la nafsuka, wa “IN” YASYIINUKA la hiyah
(Sesungguhnya kepribadianmulah yg menghiasi dirimu sediri, dan sesungguhnya dia hanyalah mencelamu)
PERIHAL “AN” TAUKID TAKHFIF DARI “ANNA”
وَإِنْ تُخَفَّفْ أَنَّ فَاسْمُهَا اسْتَكَنّ وَالْخَبَرَ اجْعَلْ جُمْلَةً مِنْ بَعْدِ أَنّ
Jika ANNA ditakhfif = AN, maka isimnya ada tersimpan (berupa dhamir syaen). Dan jumlah sesudah AN jadikan! sebagai khobarnya .
KETERANGAN BAIT KE 20 :
Apabila ANNA yg hamzahnya berharakat fathah tsb di-takhfif (AN), maka ia tetap beramal namun isimnya berupa dhamir syaen yg terbuang, dan khobarnya tiada lain adalah kalimat yang ada setelah AN tsb. Contoh:
‘ALIMTU “AN” ZAIDUN QOOIMUN, ada dhamir syaen yg terbuang taksirannya : ‘ALIMTU “ANNA-HU” ZAIDUN QOOIMUN.
(Isimnya berupa “HU” dan khobarnya adalah kalimat “ZAIDUN QOOIMUN”)
arti secara tarkib nahwu: Aku tahu sesunggunya “suatu perkara” adalah zaid orang yg berdiri.
Arti bebas : Aku tahu bahwasanya zaid adalah orang yg berdiri.
(dhamir syaen = dhamir yg merujuk pada suatu hal, suatu kejadian atau suatu perkara).
وَإِنْ يَكُنْ فِعْلاً وَلَمْ يَكُنْ دُعَا وَلَمْ يَكُنْ تَصْرِيْفُهُ مُمْتَنِعَا
Jika (khobar ANNA yg takhfif tsb) berupa Fi’il (kata kerja) yang tidak menunjukkan du’a atau fi’il yang kemutasharrifannya tidak tercegah…
فَالأَحْسَنُ الْفَصْلُ بِقَدْ أوْ نَفْي أوْ تَنْفِيْسٍ أوْ لَوْ وَقَلِيْلٌ ذِكْرُ لَوْ
maka yg terbaik ada pemisah (antara AN dan Khobarnya) dengan QOD, HURUF NAFI, HURUF TANFIS atau LAW, sedangkan penyebutan LAW adalah jarang.
KETERANGAN BAIT 21-22:
AN yg ditakhfif dari ANNA, apabila khobarnya berupa kalimah fi’il (khobar jumlah fi’liyah) maka umumnya ada Fashl/pemisah antara AN dan Fi’il yg menjadi khobarnya, dengan syarat: fi’ilnya Mutasharrif dan tidak ada maksud untuk Du’a (permohonan).
Penggunaan fashl/pemisah tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara AN taukid takhfif dan AN mashdariyah.
Huruf-huruf pemisah tersebut berupa:
1. QOD, contoh:
وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا
WA NA’LAMA AN “QOD” SHODAQTANAA
dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami (Almaidah : 113)
2. Huruf tanfis (Sin atau Saufa), contoh:
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى
‘ALIM AN “SA” YAKUUNU MINKUM MARDHOO
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit (Almuzammil : 20)
3. Salahsatu huruf Nafi yg biasa berlaku dalam hal ini (LAA, LAN, LAM), contoh:
أَفَلَا يَرَوْنَ أَلَّا يَرْجِعُ إِلَيْهِمْ قَوْلًا
A FALAA YAROWNA AN-”LAA” YARJI’U ILAIHIM QOWLAN
Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka (Thoha : 89)
4. LAW, contoh:
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
WA AN-”LAW” ISTAQOOMUU ‘ALATH-THORIIQOTI LA-ASQOINAAHUM MAA-AN GHADAQOO.
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (Al-Jinn : 72)
PERIHAL “KA-AN” TAKHFIF DARI “KA-ANNA”
وَخُفِّفَتْ كَأَنَّ أَيْضَاً فَنُوِي مَنْصُوْبُهَا وَثَابِتَاً أَيْضَاً رُوِي
Demikian juga “KA-ANNA” yg ditakhfif (terbaca “KA-AN”) lalu isim manshubnya dikira-kira (berupa dhamir syaen), dan juga diceritakan dengan menetapkannya/men-zhahirkan isim manshub (tapi jarang)
KETERANGAN BAIT 23:
“KA-AN” mukhoffafah dari “KA-ANNA” dihukumi sebagaimana hukum yg terjadi pada “AN” mukhoffafah dari “ANNA” (lihat bait-bait sebelumnya). Yaitu:
Pengamalannya tetap (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) tapi isimnya terbuang/dikira-kira dhamir syaen, terkadang isimnya dizhahirkan tapi jarang. Adapun khobarnya berupa jumlah sesudah “KA-AN”, baik khobarnya berupa
1. jumlah ismiyah, contoh
كأنْ عصفورٌ سهمٌ في السرعة
KA-AN ‘ASHFUURUN SAHMUN FIS-SUR’AH
Seakan-akan bahwa burung pipit adalah panah dalam kecepatannya.
2. jumlah fi’liyah yang biasanya diawali dengan “LAM nafi” kalau fi’il mudhari’, atau diawali dengan “QOD” kalau fi’il madhi. (sebagai fashl antara KA-AN dan khobarnya), contoh:
فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ
FA JA’ALNAAHAA HASHIIDAN KA-AN LAM TAGHNA BIL AMSI
lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin (Yunus : 24)
لاَ الَّتِي لِنَفِيْ الْجِنْسِ
BAB “LAA” YANG MENIADAKAN ISIM JENIS (LAA LI NAFYIL-JINSI)
عَمَلَ إِنَّ اجْعَلْ لِلا فِي نَكِرَهْ مُفْرَدَةً جَاءتْكَ أَوْ مُكَرَّرَهْ
Jadikanlah seperti amal INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) untuk LAA yg beramal pada isim nakirah, baik LAA itu datang kepadamu secara Mufrod (satu kali) atau secara Mukarror (berulang-ulang).
KETERANGAN BAIT KE 1:
“LAA LI NAFYIL JINSI” termasuk bagian dari huruf-huruf nawasikh yg masuk pada mubtada’-khobar dan merusak I’robnya, beramal seperti INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya). Baik diucapkan dengan satu kali (Mufrod), contoh : “LAA ROJULA” FID-DAARI. Atau diucapkan dengan berulang-ulang (Takrir), contoh: “LAA ROJULA” WA “LAA IMRO’ATA” FID-DAARI. Secara khusus berfungsi meniadakan jenis secara keseluruhan, ini membedakan dengan “LAA LI NAFYIL WAHID” yg beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya).
Syarat pengamalan “LAA LI NAFYIL JINSI” adalah :
1. isim dan khobarnya harus nakiroh.
2. tidak boleh ada fashl/pemisah antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMnya.
3. tidak boleh ada huruf jar masuk pada “LAA LI NAFYIL JINSI”.
فَانْصِبْ بِهَا مُضَافَاً أَوْ مُضَارِعَهْ وَبَعْدَ ذَاكَ الْخَبَرَ اذْكُرْ رَافِعَهْ
Nashabkanlah olehmu sebab “LAA” terhadap isimnya yg Mudhaf atau yg menyerupai Mudhaf . setelah itu sebutkanlah khobarnya dengan merofa’kannya.
وَرَكّبِ الْمُفْرَدَ فَاتِحَاً كَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ وَالْثَّانِ اجْعَلاَ
Tarkibkanlah olehmu (menjadikan satu tarkib antara LAA dan Isimnya) terhadap isimnya yg mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf) dengan menfat-hahkannya (menghukumi mabni fathah karena satu tarkib dengan LAA). Seperti: “LAA-HAULA” wa “LAA-QUWWATA”,
Dan terhadap lafazh yg kedua (dari contoh LAA yg diulang-ulang: (1) “LAA-HAULA” wa (2) “LAA-QUWWATA”) boleh kamu jadikan ia.. (lanjut ke bait 4)
مَرْفُوْعَاً أوْ مَنْصُوباً أوْ مُرَكَّباً وَإِنْ رَفَعْتَ أَوَّلاً لاَ تَنْصِبَا
..dirofa’kan atau dinashabkan atau ditarkib, jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua.
KETERANGAN BAIT 2-3-4:
Ada tiga poin yg menyangkut tentang isimnya “LAA LI NAFYIL JINSI”:
1. berupa Mudhaf (tersusun dari susunan idhafah, mudhaf dan mudahf ilaih)
2. berupa Syabihul-Mudhaf (tersusun dengan kalimah lain baik makmulnya/ta’alluqnya/ma’thufnya dll)
3. berupa Mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf, baik isim mufrod, mutsanna, atau jamak)
> Poin yg no 1 dan 2, dihukumi nashab dengan tanda nashabnya secara zhahir, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs.
> Poin yg no 3 dihukumi mabni atas tanda I’rab nashabnya, menempati mahal nashab, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs . Dihukumi mabni karena dijadikan satu tarkib antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan Isimnya.
Apabila setelah “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMNYA terdapat isim ma’thuf yg berupa isim nakirah dan mufrodah, maka hal seperti ini kadangkala LAA tidak diulang dan kadangkala penyebutan LAA diulang pada isim ma’thufnya, contoh لا حول ولا قوة إلا بالله (LAA HAWLA WA LAA QUWWATA)
Apabila terdapat ma’thuf dan LAA diulang-ulang seperti itu, maka mencakup tiga bacaan:
BACAAN KE SATU : lafazh yg pertama (ma’thuf alaih) dibaca mabni (apabila mufrodah), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 3 jalan:
1. MABNI, LAA yg kedua juga beramal spt INNA, athaf secara jumlah. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATA
2. NASHAB, Athaf kepada mahal nashab isim LAA, dan LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATAN
3. ROFA’, athaf kepada mubtada’ karena “TARKIB LAA DAN ISIMNYA” posisinya sebagai mubtada’, LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Atau LAA yg kedua beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya) yg mempunyai faidah sebagai nafi jenis. Atau lafazh yg kedua itu sendiri sebagai Mubtada’ dan LAA yg kedua tidak beramal. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATUN
BACAAN KE DUA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca nashab (apabila mudhaf atau yg menyerupai mudhaf), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) juga boleh dibaca 3 jalan sebagaimana hukum BACAAN KE SATU diatas, yaitu : MABNI, NASHAB dan ROFA’ (untuk rofa’ tidak boleh untuk alasan athaf kepada mubtada’ sebab isimnya berupa mudhaf/syabih mudhaf).
BACAAN KE TIGA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca Rofa’ (apabila LAA diamalkan seperti LAISA atau karena ada illah yg membuat LAA menjadi Muhmal), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 2 jalan: 1. MABNI, karena mufrodah. 2. ROFA’, karena athaf pada isim marfu’, atau karena menjadi mubtada dan LAA dihukumi Zaidah, atau sebagai isimnya LAA yg juga diamalkan seperti LAISA.
Untuk BACAAN KE TIGA ini tidak boleh lafazh yg kedua (ma’thuf) dibaca Nashab sebab status LAA pertama disini bukan sebagai Amil nashab, oleh karenanya dalam bait disebutkan “WA IN ROFA’TA AWWALAN LAA TANSHIBAA” (jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua).
وَمُفْرَدَاً نَعْتَاً لِمَبْنِيّ يَلِي فَافْتَحْ أَوِ انْصِبَنْ أَوِ ارْفَعْ تَعْدِلِ
Terhadap mufrod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yang na’at secara langsung (tanpa ada pemisah) pada isim LAA yg mabni maka fathahkanlah atau nashabkanlah atau rofa’kanlah demikian kamu adil.
KETERANGAN BAIT KE 5
Apabila ada Isim murfod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yg na’at pada isimnya LAA nafi jenis yg mabni, dimana na’atnya mengiringi langsung tanpa pemisah, maka boleh Na’at tsb dibaca tiga wajah:
1. MABNI FATHAH, karena dijadikan satu tarkib berikut berbarengan dengan isimnya LAA. Contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFA
2. NASHAB, karena melihat pada mahal nashab isimnya LAA, contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFAN
3. ROFA’, karena melihat pada mahal rofa tarkib LAA + ISIMnya yg menempati posisi sebagai mubtada. Contoh:
LAA+ROJULA ZHORIIFUN
وَغَيْرَ مَا يَلِي وَغَيْرَ الْمُفْرَدِ لاَ تَبْنِ وَانْصِبْهُ أَوِ الْرَّفْعَ اقْصِدِ
Na’at yg tidak mengiringi langsung (ada pemisah) dan na’at yg tidak mufrad (mudhaf/syabih mudhaf) janganlah kamu memabnikannya, tapi nashabkanlah atau kehendakilah dengan merofa’kannya.
KETERANGAN BAIT KE 6
Isim yg NA’AT pada isimnya LAA NAFI JINSI yg dimabnikan, boleh dibaca 3 wajah (MABNI, NASHAB, ROFA’) demikian ini apabila NA’AT dan ISIM LAA sama-sama mufrodah dan tidak ada pemisah (lihat bait ke 5)
Kemudian, apabila ada pemisah antara NA’AT dan ISIM LAA yg mabni, atau tidak ada pemisah tapi NA’ATnya tidak mufrodah maka boleh dibaca 2 wajah (NASHAB dan ROFA’) dan tidak boleh MABNI. Contoh:
1. LAA ROJULA FIIHAA ZHARIIFAN/ZHARIIFUN (terdapat fashl)
2. LAA ROJULA SHAAHIBA BIRRIN/SHAAHIBU BIRRIN (tdk terdapat fashl tapi na’at tidak mufrodah)
وَالْعَطْفُ إِنْ لَمْ تَتَكَرَّرْ لاَ احْكُمَا لَهُ بِمَا لِلْنَّعْتِ ذِي الْفَصْلِ انْتَمَى
Adapun ‘Athaf, jika LAA tidak diulang-ulang maka hukumilah ma’thufnya dengan hukum yg dinisbatkan pada Na’at yg Fashl (boleh nashab dan rofa’ tidak boleh mabni, lihat bait ke 6).
KETERANGAN BAIT KE 7
Pada bait dahulu dijelaskan (bait ke2-3-4) bahwa apabila setelah isim laa ada isim ma’thuf yg nakirah dan mufrodah, maka penyebutan LAA kadang diulang-ulang kadang tidak.
Nah dalam bait ke 7 ini menerangkan tentang hokum ma’thuf pada isim LAA yg mana LAA tidak diulang-ulang.:
Boleh Ma’thuf disini dihukumi dengan bacaan sebagaimana yg terjadi pada hukum isim yg Na’at pada isim LAA yg terdapat Fashl/pemisah (lihat bait ke 6) yaitu NASHAB dan ROFA, tidak boleh MABNI. Salahsatu contoh:
LAA MUDARRISA WA THOOLIBUN/THOOLIBAN FIL MADROSATI
(rofa = athaf pada mahal rofa tarkib LAA+ISIMNYA sebagai mubtada’| nashab = athaf pada mahal nashab isim LAA)
وَأَعْطِ لاَ مَعْ هَمْزَةِ اسْتِفْهَامِ مَا تَسْتَحِقُّ دُوْنَ الاسْتِفْهَامِ
Beikanlah pada LAA NAFI JINSI yg menyertai HAMZAH ISTIFHAM, dengan hukum yg menhakinya ketika tanpa adanya HAMAZAH ISTIFHAM.
KETERANGAN BAIT KE 8
HAMZAH ISTIFHAM yg masuk pada LAA NFYIL JINSI (A LAA) maka hukumnya berlaku sama sebagaimana ketika belum dimasuki HAMZAH ISTIFHAM seperti hukum Isimnya, khobarnya, Na’at, Ma’thuf, Muhmal ketida LAA diulang-ulang dan sebagainya (lihat bait-bait sebelumnya).
Fungsi utama HAMZAH ISTIFHAM (A) disini adalah: mempertanyakan Nafi, yakni sumber khabar nafi tsb benar atau tidak?. Contoh:
A LAA TAAJIRO SHOODIQUN?
Apakah tidak ada pedagang itu jujur?
Atau HAMZAH ISTIFHAM difungsikan sebagai taubikh (teguran) contoh:
A LAA IHSAANA MINKA WA ANTA GHINIYYUN?
Apakah tidak ada kemurahan darimu sedang kamu adalah orang kaya?
وَشَاعَ فِي ذَا الْبَابِ إِسْقَاطُ الْخَبَرْ إِذَا الْمُرَادُ مَعْ سُقُوْطِهِ ظَهَرْ
Mayoritas penggunaan LAA NAFI JENIS dalam bab ini membuang KHOBAR, bilamamana pengertian yg menyertai pembuangan khobar tsb sudah jelas.
KETERANGAN BAIT KE 9
Apabila ada dalil tentang khobar dari LAA NAFI JENIS maka khobarnya cukup dibuang, pembuangan khobar dalah hal ini mayoritas digunakan. Baik dalil tersebut berupa Maqol (perkataan) contoh orang berkata “HAL MIN ROJULIN HAADHIRIN?” maka cukup dijawab “LAA ROJULA”. (TIDAK SORANG PUN = membuang khobar MUJUUDUN = ADA). Atau dalil tsb berupa hal keadaan contoh seseorang berkata pada orang yg keadaan sakit: “LAA BA’SA” (TIDAK APA-APA, membuang khobar ‘ALAIKA = BUAT MU) .
KESIMPULAN:
Mayoritas penggunaan khobar LAA NAFI JINSI adalah dibuang, demikian ini karena maksud/pengertian dari khobar yg terbuang tsb sudah jelas, dan kejelasan suatu khobar takkan terjadi kecuali adanya dalil.
ظَنَّ وَأَخَوَاتُهَا
Zhonna dan saudara-saudaranya
اِنْصِبْ بِفِعْلِ الْقَلْبِ جُزْأَي ابْتِدَا أَعْنِي رَأَى خَالَ عَلِمْتُ وَجَدَا
Nashabkanlah sebab Fi’il Qulub terhadap dua juz ibtida (Mubtada dan Khabar), yakni aku maksudkan adalah: Ro’aa, Khoola, ‘Alima, Wajada.
ظَنَّ حَسِبْتُ وَزَعَمْتُ مَعَ عَدّ حَجَا دَرَى وَجَعَلَ اللَّذْ كَاعْتَقَدْ
Zhonna, Hasiba dan Za’ama, berikutnya ‘Adda, Hajaa, Daroo, juga Ja’ala yg seperti arti I’taqada (mempercayai).
وَهَبْ تَعَلَّمْ وَالَّتِي كَصَيَّرَا أَيْضَاً بِهَا انْصِبْ مُبْتَداً وَخَبَرَا
dan Hab, Ta’allam, juga yg searti dg lafazh Shoyyaro nashabkanlah juga dengannya terhadap mubtada’ dan khobar.
KETERANGAN BAIT KE 1,2,3 :
Bagian Bab dari fiil-fiil nawasikh ZHONNA Cs, menashabkan mubtada’ dan khobar sebagai dua maf’ulnya.
Fi’il-fi’il pada bab ini terbagi dua, Af’aalul Quluub dan Af’aalut Tahwiil.
AF’AALUL QULUUB
Secara makna berarti pekerjaan-pekerjaan yg ada dalam hati seperti mengetahui, meyakini, menyangka, dll. Af’aalul Quluub dalam hal ini terbagi menjadi empat bagian:
- Berfaedah YAQIIN (meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:
- WAJADA. Contoh:
إنّا وجدناه صابرا
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar
- TA’ALLAM. Contoh:
تعلم أن الربا بلاء
Ketahuilah sesungguhnya harta riba adalah petaka
- DAROO. Contoh:
وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ
dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu
- Berfaedah RUJHAAN (lebih cenderung pada meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:
- JA’ALA (bima’na beri’tikad) contoh:
وجعلوا الملائكة الذين هم عباد الرحمن إناثاً
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan
- HAJAA, contoh:
حجوت الجوَّ بارداً
Aku memperkirakan cuaca dingin
- ‘ADDA, contoh:
عددت الصديقَ أخاً
Aku menganggap teman itu sebagai saudara
- HAB, contoh:
فقلت أجرني أبا مالك # وإلا فهبني أمرأً هالكاً
Aku Cuma mampu berkata: berilah aku kesempatan sekali lagi wahai Abu Malik! Jika tidak maka anggaplah aku sesuatu yg binasa.
- ZA’AMA, contoh:
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا
Orang-orang yang kafir berdalih bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan.
- Umumnya berfaedah YAQIIN terkadang juga faedah RUJHAAN yaitu:
- RO’AA, contoh:
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا وَنَرَاهُ قَرِيبًا
Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). (RO’AA pertama berfaedah RUJHAAN dan RO’AA kedua berfaedah YAQIIN).
- ‘ALIMA, contoh:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah.
- Umumnya berfaedah RUJHAAN terkadang juga faedah YAQIIN yaitu:
- ZHONNA, contoh Rujhaan:
فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا مُوسَى مَسْحُورًا
lalu Fir’aun berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir.”
Contoh Yaqiin:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya
- KHOOLA, contoh:
خِلتُ الدراسةَ مُتعةً
Aku menyangka belajar itu adalah bersenang-senang.
- HASIBA, contoh:
حسب المهملُ النجاحَ سهلاً
Orang iseng mengira kesuksesan itu mudah.
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim
AF’AALUT-TAHWIIL
Secara makna menunjukkan pada perubahan sesuatu, yakni merubah dari satu keadaan kepada keadaan yg lain. Oleh karenanya dinamakan juga AF’AALUT-TASHYIIR, karena semua kata kerja pada bagian ini mempunyai arti SYUYYIRO (menjadikan). Yaitu:
- JA’ALA, contoh:
جعلت الذهب خاتماً
Aku jadikan emas itu sebuah cincin.
وقدمنآ إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هبآء منثورا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan[1062], lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.
- RODDA, contoh:
رَدّتِ الاستقامةُ الوجوهَ المظلمة نيرةً
Istiqomah mengembalikan jalan kegelapan kepada terang benderang
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman
- TAROKA, contoh:
تركت الطلاب يبحثون في المسألة
Aku membiarkan siswa-siswa itu membahas suatu masalah.
وتركنا بعضهم يومئذ يموج في بعض
Kami biarkan mereka di hari itu[893] bercampur aduk antara satu dengan yang lain,
- ITTAKHODA, contoh:
اتخذت طالبَ العلم صديقاً
Aku jadikan pelajar itu sebagai teman.
واتّخذ الله إبراهيم خليلا
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya
- SHUYYIRO, contoh:
صيرت الزجاج لامعاً
Aku jadikan kaca itu menjadi cermin.
- HAB, contoh:
وهبني الله فداء الحق
Semoga Allah menganugerahiku Fidaaul-haqq (balasan/tebusan kepada yg haq).
وَخُصَّ بِالْتَّعْلِيْقِ وَالإِلْغَاء مَا مِنْ قَبْلِ هَبْ وَالأَمْرَ هَبْ قَدْ أُلْزِمَا
Hukum Ta’liiq dan Ilghaa’ hanya dikhususkan untuk Saudara-saudara Zhonna yg disebut sebelum HAB! (lihat redaksi Bait-bait sebelumnya). Dan untuk HAB! Ditetapkan pada bentuk amarnya saja (tidak mutasharrif)
كَذَا تَعَلَّمْ وَلِغَيْرِ الْمَاضِ مِنْ سِوَاهُمَا اجْعَلْ كُلَّ مَا لَهُ زُكِنْ
Seperti juga TA’ALLAM! (sama dengan HAB!). Dan pada bentuk selain fi’il madhi (Zhonna Cs) selain HAB dan TA’ALLAM, jadikanlah semua hukum yg biasa berlaku pada fi’il madhinya.
KETERANGAN BAIT KE 4,5
Telah disebutkan pada keterangan bait sebelumnya bahwa fi’il-fi’il pada bab ini terbagi menjadi AF’ALUL QULUB dan AF’ALUT-TAHWIL.
AF’ALUL QULUB dalam bab ini, ada yg mutasharrif dan ada yg tidak mutasharrif. Fiil yg mutasharrif selain HAB dan TA’ALLAM.
Selain bentuk fi’il madhi dari fi’il-fi’il mutasharrif tersebut mengamal sebagaimana hukum pengamalan yg biasa berlaku untuk fi’il madhinya. Sedangkan HAB dan TA’ALLAM tidak diberlakukan kecuali bentuk Amarnya.
Diberlakukan juga secara khusus pada fi’il-fiil qulub yg mutasharrif yaitu hukum TA’LIQ dan ILGHA’:
TA’LIQ adalah: meninggalkan pengamalan secara lafazh bukan secara makna (mengamal secara Mahal/Maqom) dikarenakan ada lafazh yg menjadi pencegah (MAANI’). Contoh:
“ZHONANTU LA ZAIDUN QOOIMUN”
Yg menjadi pencegah dalam contoh ini adalah huruf LAM.
ILGHA’ adalah: meninggalkan pengamalan secara lafazh dan makna tanpa adanya MAANI’ (lafazh pencegah amal). Contoh:
“ZAIDUN ZHONANTU QOOIMUN”…
وَجَوِّزِ الإِلْغَاء لاَ فِي الإبْتِدَا وَانْوِ ضَمِيْرَ الشَّانِ أَوْ لاَمَ ابْتِدَا
Perbolehkan menghukumi Ilgha (ZHONNA CS – AF’ALUL QULUB MUTASHARRIF) yang bukan berada di awal kalimat.
Dan mengiralah dhamir syaen atau lam ibtida’…
فِي مُوهِمٍ إِلْغَاء مَا تَقَدَّمَا وَالْتَزِمِ الْتَّعْلِيْقَ قَبْلَ نَفْي مَا
…didalam perkataan seorang Muhim (anggapan benar) terhadap hukum Ilgha-nya yg ada di awal kalimat.
Dan wajibkanlah menghukumi Ta’liq padanya yg berada sebelum MAA NAFI, …
وَإِنْ وَلاَ لاَمُ ابْتِدَاءٍ أَوْ قَسَمْ كَذَا وَالاسْتِفْهَامُ ذَا لَهُ انْحَتَمْ
IN NAFI dan LAA NAFI, demikian juga LAM IBTIDA atau LAM QOSAM. Adapun ta’liq juga wajib dikarenakan ada ISTIFHAM.
KETERANGAN BAIT KE 6,7,8
Tiga bait diatas menerangkan hukum ILGHA dan TA’LIQ pada ZHONNA dan saudara-saudaranya yg berupa Af’aalul Qulub yg mutasharrif.
Hukum ILGHA (pembatalan amal secara lafzhan dan mahallan) karena berada di tengah atau di akhir kalimat. Contoh:
AS-SIDQU ‘ALIMTU NAAFI’UN
AS-SHIDQU NAAFI’UN ‘ALIMTU
“Aku tahu kejujuran itu bermanfa’at”.
Apabila ada kalam wahem yg meng-ilgha-kan padahal ia ada di awal kalimat, maka dihukumi menyimpan dhamir syaen atau lam ibtida’, contoh:
‘ALIMTU AS-SHIDQU NAAFI’UN
Takdir dhamir syaen :
‘ALIMTU HU ASSHIDQU NAAFI’UN
Takdir lam ibtida’:
‘ALIMTU LASSHIDQU NAAFI’UN
Hukum TA’LIQ (pembatalan amal secara lafzhan bukan mahallan). Dikarenakan ada Mani’ atau pencegah. Pencegah tersebut berupa:
1. Huruf nafi (MAA, IN dan LAA) contoh:
وَظَنُّوا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ
وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِنَا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ
وَتَظُنُّونَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا
2. Lam Ibtida’ contoh:
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
3. Lam Qosam contoh:
علمت ليحاسبن المرء على عمله
4. Istifham, contoh:
لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى
وَإِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ أَمْ بَعِيدٌ مَا تُوعَدُونَ
……………
لِعِلْمِ عِرْفَانٍ وَظَنَ تُهَمَهْ تَعْدِيَةٌ لِوَاحِدٍ مُلْتَزَمَهْ
Bagi lafazh ‘ILMUN (yg mempunyai arti) ‘IRFAANUN (mengenal) dan ZHONNUN (yg mempunyai arti) TUHAMATUN (menuduh), lazimnya muta’addi pada satu maf’ul.
وَلِرَأَى الْرُّؤيَا انْمِ مَا لِعَلِمَا طَالِبَ مَفْعُوْلَيْنِ مِنْ قَبْلُ انْتَمَى
Dan bagi lafazh RO-A (yg mempunyai arit RU-YAA (bermimpi) golongkanlah! pada hukum golongan lafazh ‘ALIMA dengan menuntut dua maf’ul, sebagaimana disebutkan pada bait sebelumnya (lihat disini awal bait bab zhanna CS).
وَلاَ تُجِزْ هُنَا بِلاَ دَلِيْلٍ سُقُوْطَ مَفْعُوْلَيْنِ أَوْ مَفْعُوْلِ
Di sini (bab zhanna CS) janganlah kamu memperbolehkan membuang dua maf’ul ataupun satu maful dengan tanpa adanya dalil (yakni boleh apabila ada dalil/penunjukan lafazh)
وَكَتَظُنُّ اجْعَلْ تَقُوْلُ إِنْ وَلِي مُسْتَفْهَماً بِهِ وَلَمْ يَنْفَصِلِ
Jadikanlah untuk lafazh TAQUULU (berbentuk fi’il mudhari’ mukhathab) berlaku seperti hukum TAZHUNNU, jika ia mengiringi langsung adat istifham dengan tidak terpisah…. < ke bait berikutnya >
بِغَيْرِ ظَرْفٍ أَوْ كَظَرْفٍ أَوْ عَمَلْ وَإِنْ بِبَعْضِ ذِي فَصَلْتَ يُحْتَمَلْ
Selain terpisah oleh Zhorof atau yg serupa Zhorof (jar-majrur) atau ma’mulnya. Jika kamu pisahkan dengan sebagian pemisah ini, maka pemisahan ini dibenarkan.
وَأُجْرِيَ الْقَوْلُ كَظَنَ مُطْلَقَا عِنْدَ سُلَيْمٍ نَحْو قُلْ ذَا مُشْفِقَا
Juga lafazh QAUL diberlakukan seperti hukum ZHANNA secara mutlak (tanpa syarat) demikian menurut logat Bani Sulaim, contoh: QUL! DZAA MUSYFIQAN
أَعْلَمَ وَأَرَى
BAB A’LAMA DAN AROO
إِلَى ثَلاَثَةٍ رَأَى وَعَلِمَا عَدَّوْا إذَا صَارَا أَرَى وَأَعْلَمَا
Mereka (Ulama Nuhat) memuta’addikan lafazh ‘ALIMA dan RO-A kepada tiga Maf’ul bilamana kedua lafazh tsb menjadi A’LAMA dan AROO (dengan menambah Hamzah Ta’diyah di awal kalimah).
وَمَا لِمَفْعُوْلَيْ عَلِمْتُ مُطْلَقَا لِلْثَّانِ وَالْثَالِثِ أَيْضَاً حُقِّقَا
Hukum yg berlaku untuk kedua Maf’ul lafazh ‘ALIMTU secara mutlak (lihat pada bab Zhanna cs), juga diberlakukan untuk Maf’ul yg kedua dan Maf’ul yg ketiga (pada Bab A’lama dan Aroo ini)
وَإِنْ تَعَدَّيَا لِوَاحِدٍ بِلاَ هَمْزٍ فَلِاثنَيْنِ بِهِ تَوَصَّلاَ
Jika kedua lafazh tersebut muta’addi kepada satu maf’ul ketika tanpa hamzah (‘ALIMA/RO-A yg mempunyai arti AROFA/BASHARO “mengenal/melihat), maka menjadi muta’addi kepada dua Maf’ul ketika bersambung dengan hamzah (A’LAMA/AROO “memperkenalkan/memperlihatkan)
وَالْثَانِ مِنْهُمَا كَثَانِي اثْنَيْ كَسَا فَهْوَ بِهِ فِي كُلِّ حُكْمٍ ذُو ائْتِسَا
Maf’ul yg kedua dari kedua Maf’ul (A’LAMA/AROO yg muta’addi pada dua Maf’ul) seperti hukum Maf’ul yg kedua dari kedua Maf’ul lafazh KASAA, maka ia (Maf’ul kedua A’lama/Aroo) di dalam semua hukumnya sebagai pengikut jejaknya (Maf’ul kedua Kasaa).
وَكَأَرَى الْسَّابِقِ نَبَّا أَخْبَرَا حَدَّثَ أَنْبأَ كَذَاكَ خبَّرَا
Juga seperti hukum lafazh AROO yg lalu (maksudnya yg muta’addi pada tiga Maf’ul) yaitu lafazh NABBA-A (memberitakan), AKHBARO (mengabarkan), HADDATSA (menceritakan), ANBA-A (memberitakan) demikian juga lafazh KHOBBARO (memberitakan).
Sampai disini dulu ya ikhwah... ada gangguan dalam publikasinya nih.. salam hangat persaudaraan...